Bersama Masyarakat

Bersama Masyarakat Sigi

BERSAMA PMI

PMI Kabupaten Sigi.

Silaturrahim

Silaturrahim dengan Masyrakat.

KEBUN JAGUNG

Jadi PETANI, Kita Bisa ...

SEMANGAT

Dukungan Masyarakat dan Partai adalah Semangat untuk Menuju Kesuksesan.

Selasa, 28 Mei 2024

Sejarah Singkat Masyarakat Adat ONA

 


Masyarakat Adat Ona merupakan rumpun suku Kaili Da’a yang dulunya menjerat hewan buruan dan bercocoktanam Padi Koyo dan Pulut dengan ladang berpindah di wilayah Gunung Ulujadi atau yang dikenal sebagai Gunung Kamalisi saat ini atau yang disebut orang Belanda sebagai Gunung Gawalise. Dituturkan secara lisan bahwa Masyarakat Adat Ona adalah yang tertua dari rumpun suku Kaili Da’a yang disebut sebagai To Ulujadi atau Ulunggatoka Pinandu – Ongunja Poamaya. Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa dari puncak Ulujadi-lah awal dari kehidupan manusia. Hal itu disimpulkan dari ujaran Ulunggatoka Pinandu – Pinandu: Tananilemo Nggari Tanah Pinandu yang artinya “diciptakan dari tanah, adalah tanah yang (digenggam-dibentuk) dijadikan manusia”. Menurut Masyarakat Adat Ona, Pinandu itu pulahlah nama orang yang diciptakan dari tanah tersebut. Kemudian, dibentuklah dari tulang rusuk Pinandu itu diciptakan perempuan pertama yang disebut “Usukei” (tulang rusuk kiri). Pada perkembangannya, Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa sistem dan aturan adat diciptakan oleh orang-orang yang mereka sebut sebagai Tomanuru (orang suci) dan Tobarakah (orang sakti yang suci). Sistem dan aturan adat itu kemudian dimapankan oleh para Ntina atau pemimpin masyarakat dan berpusat di sebuah tempat yang dinamakan Bantaya.

 

Dituturkan selanjutnya, bahwa pada tahun 1865 dilantiklah dua orang oleh Belanda untuk menjadi pemimpin di tanah Kaili, mereka adalah Sangabaja Sabinggalangi menjadi Kepala Suku Kaili dan Parampasi Simantana sebagai Kepala Raja Kaili. Jika Parampasi Simantana dilantik untuk menjadi Madika untuk tanah Kaili, maka Sangabaja Sabinggalangi memimpin suku Kaili yang berpusat di wilayah yang disebut sebagai Ngata Ona. Pada zaman kolonial, sekitar 700 orang dari Masyarakat Adat Ona dipekerjakan oleh Belanda untuk membuat jalan dari Kulawi sampai ke Towulu. Pada saat itu juga masuklah misionaris Inggris yang membawa ajaran Nasrani Bala Keselamatan dan diterima secara damai oleh Masyarakat Adat Ona. Sekitar tahun 1950an dibangunlah gereja dan sekolah pertama di tanah Lumbu (dusun 2 Desa Lewara). Sejak saat itu, Masyarakat Adat Ona yang bertempat tinggal di Gunung Ulujadi berpindah menuruni gunung dan membentuk pemukiman yang tersebar ke beberapa wilayah yaitu Kalantaro, Lumbu (Vuntunono), Ngge’a, dan Tamoli. Sejak saat itu, Masyarakat Adat Ona mulai mengenal cara bercocoktanam dengan berkebun dengan beberapa tanaman seperti ubi, singkong, jagung, dan lain-lain.

Pada tahun 1968, konsep Ngata pada Ona berubah menjadi Kampung. Tahun 1969 diyakini sebagai tahun terakhir masa ladang berpindah (Padi) dan berganti ke tanaman kebun atau ladang. Pada masa Kampung ini, Masyarakat Adat Ona terlibat perang antar-suku dengan wilayah lain. Pada saat itu, sesuai kesepakatan bersama orang tua adat digantilah nama Ngata Ona menjadi Ngata Lewara untuk melindungi seluruh Masyarakat Suku Da’a di Ngata Ona. Pada tahun 1971 Ngata Lewara berubah menjadi Desa Lewara yang terdiri dari 5 dusun yaitu: 1. Kalantaro, 2. Vuntuneno (Lumbu), 3. Ngge’a, 4. Tamoli, dan 5. Vatumpolelo. Menurut sejarah perkembangannya, banyak dari Masyarakat Adat Kaili Da’a Ona yang menyebar ke wilayah lain dan membentuk kampung/desa baru maupun berbaur dengan suku lain.

Hak atas tanah dan pengelolaan Wilayah

Pembagian ruang menurut adat

1. Pangale Baraka adalah Hutan larangan adat (tidak boleh diolah) yang di dalam banyak tempat keramat;

2. Pangale adalah Lahan hutan yang dapat dibuka suatu saat. Misalnya Motovo atau proses membuka lahan hutan dengan adat (Sambulugana);

3. Pantalu: Areal Garapan Masyarakat Adat dengan tutupan lahan berupa Tanaman Keras/Tahunan seperti Cokelat, Alpukat, Kemiri, Kelapa, Durian, Kopi, dsb. Pantalu juga dapat secara berkala dijadikan ladang jagung, padi gunung (dulu), ubi, ubi jalar, labu siam, dsb. Kbun dalam proses penggarapan khas Orang Ona memiliki beberapa sebutan berdasar pada tahapan dalam proses budidaya tanamnya yaitu;

o Oma: Areal Pantalu yang sudah ditinggalkan lama, menjadi hutan muda dan dapat dibuka kembali;

o Ova: Areal Pantalu yang sudah dipanen, ditinggalkan 1-2 tahun dan sudah menjadi belukar. Ova dapat dibuka kembali;

o Bonde: Areal Pantalu yang sudah dibakar, dibersihkan, dan siap ditanami;

o Olo: Areal yang menjadi batas antara Pangale (Hutan Primer) dan Pantalu (Ova/Oma); dan

4. Ngata adalah lahan yang dijadikan pemukiman penduduk.

Sistem Penguasaan & Pengelolaan Wilayah

Kepemilikan lahan ditentukan pada keberadaan tanaman keras (Durian, Bambu, Langsat, dan Kelapa), bukan pada mereka yang pertama membuka.

 

Masyarakat Adat Ona dapat mengelola/menggarap lahan milik orang lain selama ia meminta izin kepada pemilik lahan (pemilik tanaman keras/kebun yang diwariskan).

 

Orang dari luar Masyarakat Adat Ona, tidak dapat memiliki dan menggarap lahan di Wilayah Adat Ona.

Kelembagaan Adat

Nama    Ntina

Struktur               Ntina Gelara

Tugas dan Fungsi Pemangku Adat

Ntina (Ketua RW): Pimpinan paling tertinggi di komunitas wilayah adat suku da’a dan menyelesaikan perkara yang tidak selesai di tingkat RT.

Gelara Ketua RT): Pemimpin (sakti) yang ditugaskan oleh Ntina untuk menyelesaikan perkara di tingkat RT serta memantau situasi musuh apabila ada penyerangan.

 

Peran – Fungsi Gelara dan Ntina meliputi:

Notangara: dipercaya serta bertugas menyelesaikan masalah secara umum baik tingkat kriminal yang ringan maupun yang berat

Buluna: dipercaya serta bertugas dan memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah bagian pegunungan (Hutan).

Nompakoni: dipercaya serta bertugas yang memiliki ilmu spiritual untuk meminta sang pencipta baik urusan tolak bala, menyembuhkan orang dari penyakit, yang biasa membuat ritual sebelum membuka lahan dan lain-lain.

Mekanisme Pengambilan keputusan

Molibu (Musyawarah dengan Tujuan)

Molibu Vaya:

a. Permasalahan yang terjadi di tingkat keluarga dalam tingkat RT maka dimediasi oleh Gelara/Ketua RT, jika selesai di tingkat ini maka tidak ada Givu. Permasalahan yang terjadi antar-keluarga dari RT/RW/Dusun yang berbeda maka hadir juga pejabat adat dari RT/RW/Dusun terkait.

b. Permasalahan yang tidak dapat selesai di tingkat RT oleh Gelara maka dibawa ke tingkat Ntina dengan proses mekansime sangsi Givu.

Givu adalah vonis dalam bentuk sanksi berat atau ringan.

Vaya adalah status Givu terpenuhi dan kondisi di mana pelaku menyesal tak mengulangi lagi (efek jera) dan korban memaafkan.

Sompo status Givu terpenuhi dan kondisi di mana pelaku menyesal tak mengulangi lagi (efek jera) dan korban memaafkan untuk kasus yang menimbulkan rasa malu bagi korban.

 

Molibu Mponika: Tujuan membicarakan proses pernikahan

 

Molibu Mpovati/Mpokeso: Tujuan membicarakan prosesi adat peralihan anak ke remaja.

 

Molibu Kamate: Tujuan untuk pesta duka di hari ke 14.

Hukum Adat

Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan Wilayah dan Sumber daya alam

Ada prinsip yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Ona bahwa tanah adat yang telah di wariskan dan diberikan oleh leluhur untuk todea (Masyarakat) adalah untuk dijaga dan tidak boleh dijual. Hal itu tercermin dalam ujaran ”Menjual tanah adat sama dengan menjual adat, menjual adat berarti menjual rakyat dan menjual rakyat adalah mendustai dan menyakiti leluhur.”

 

Tidak boleh menjual hasil hutan berupa kayu, kecuali untuk kebutuhan papan rumah tangga.

 

Pemahaman bersama untuk tidak boleh menggarap beberapa lahan (tanpa persetujuan adat) yaitu:

1. Pangale Viata (Gunung Ulujadi) yang terdapat pemakaman dan bekas kampung tua.

2. Lahan Olo (bermata air), untuk menjaga ketersediaan sumber air.

3. Lahan miring dekat binangga (sungai) dan saraah (air terjun).

Aturan Adat terkait Pranata Sosial

Sebelum agama datang ke Ngata Ona, masyarakat telah mengenal prinsip adat dari 10 norma kehidupan manusia yaitu:

Tidak boleh mencuri

Tidak boleh berdusta

Tidak boleh berzinah

Tidak boleh mempermalukan perempuan

Tidak boleh membunuh

Tidak boleh mengolok-olok orang lain-menghina

Tidak boleh berbohong

Tidak boleh menyalah gunakan wewenang

Tidak boleh mendahului orang tua

Tidak boleh ingkar janji

Tidak boleh mengambil hasil kebun/tanaman orang lain tanpa izin. Melanggar dikenakan givu sebesar Rp. 100.000/buah yang dicuri.

Menggarap lahan orang lain (ada tanda tanaman keras) tanpa izin maka dikenakan Givu berupa 9 Dula (baki) dan 1 ekor babi besar.

Mengajak selingkuh istri orang lain, maka dikenakan Givu berupa 2 x mahar yang dikeluarkan suami.

Mengancam (untuk membunuh, dll) orang lain, maka dikenakan Givu 9 Dula, 1 ekor babi 100kg,12 m kain putih, 1 doke (tombak), dan 1 huma (parang).

Salah ucap (Sala Mbivi) dikenakan Givu.

Proses penyapihan adat untuk anak-anak berumur 3 hari dengan beberapa benda yaitu: kampak, rumput silayuri, daun pada, daun sukun, Bili Siomposinji (cincin ikat melingkar 9), gelang ikat 9, dan Parang (lk)/Pacul (pr).

Contoh Keputusan dari penerapan Hukum Adat

2015: Pemuda adat melakukan pemukulan kepada pemuda lainnya dan dikenakan Givu berupa denda Ayam dan Piring.

2018: Terjadi pencurian uang sebesar 36 juta (secara bertahap) dan dengan memasuki kamar tanpa izin. Selain diminta untuk mengembalikan uang dengan cara dicicil, terdakwa juga dikenakan Givu berupa 1 ekor babi dan 2 ha kebun coklat diberikan kepada korban pencurian.


Sumber : DISINI

KAILI Itu Ramah, Tapi Jangan Diusik

Oleh : Nurdiansyah Lakawa

Tjatjo Tuan Saijhu
Tjatjo Tuan Saijhu
Tjatjo Tuan Saijhu, barangkali sudah banyak yang mengenal sosok lelaki sederhana ini. Ia adalah penulis, sastrawan dan juga budayawan.  Salah satu tulisannya adalah “Soyo Lei”, atau semut merah. 




Semut merah adalah penggambarannya pada masyarakat Kaili yang senang bergotong royong dan bekerjasama, tapi jangan diusik.
Begitulah pria yang bernama TS Atjat ini menggambarkan Suku Kaili, suku asli daerah ini. Rasa kepemilikan dan kepeduliannya kepada Kaili sangat kental.
Kepada, Nurdiansyah Lakawa, Jum’at (7/1/2011), di kediamannya, ia menjelaskan karakterisitik masyarakat Kaili. Berikut petikannya:


Banyak generasi kita belum paham apa yang dimaksud dengan Kaili. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Kaili itu?
Kaili merupakan nama kayu besar dan paling kuat. Sekarang kayu masih ada, kayu kaili ini masih ada di Batusuya. Di sana ada kayu satu besar di dekat pantai. Kayu kaili sebenarnya lambang kebesaran masyarakat di sini saat Palu ini belum tercipta. Dia menjadi lambang kebesaran orang-orang terdahulu.
Di wilayah Bangga, atau di pelabuhan Bangga dulu dia (kayu kaili) berdiri. Dia juga disebut dengan tirotasi atau pohon yang menghadap ke laut. Tiro itu menghadap dan tasi itu laut. Jadi dia menghadap ke laut. Dan itu menjadi mercusuar orang luar yang masuk ke Sulawesi Tengah saat itu. Jika pelayar  dari luar melihat kayu tinggi itu, orang sudah tahu, oh itu sudah pohon Kaili, dan mereka berlabuh di pelabuhan.

Bagaimana karakter orang Kaili sesungguhnya?
Orang kaili itu sangat ramah, tidak memilih siapa yang menjadi kawan. Tapi jangan diusik. Kalau mau baik-baik, maka orang kaili akan baik-baik. Tapi kalau mengusik, orang Kaili akan marah.
Makanya orang luar datang ke sini merasa betah. Karena orang kaili mudah menerima. Buktinya dulu dia ramah dengan orang-orang Dayak, Banten, Tidore, Sumatera Barat, dengan orang selatan tak usah di bilang.
Bayangkan saja, dulu itu banyak jawara-jawara Kaili yang pergi mengajarkan  ilmu beladirinya di Banten. Sama dengan Kaltim. Sampai hari ini pusaka-pusaka orang Dayak bisa kita temukan di beberapa tempat.  Saya dengar salah satunya pusaka mereka ada di Kolakola. Pusaka mereka berupa tameng. Dan coba lihat, ada kesamaan antara parangnya orang Dayak dengan guma (parang khusus) Kaili. Tapi tetap beda dalam pembuatan, guma membuatnya dengan supranatural dan natural. Islam masuk di Sulteng juga karena orang di sini mudah menerima siapa saja.

Bapak mengatakan orang Selatan tak perlu dibilang, sebenarnya seperti apa hubungan Selatan dan orang Kaili?
Hubungan Bugis dan Kaili adalah hubungan yang sangat erat. Pada abad ke-9 antara adat Bugis dan Kaili sudah terjalin. Bugis yaitu Kerajaan Luwu dan Kaili adalah Kerajaan Sigi. Keduanya saling bersahabat. Pernah terjadi saling tukar pusaka di antara keduanya, yaitu mereka saling memberi pusaka parang yang gagangnya terbuat dari tulang paha wanita 14 tahun. Kerajaan Luwu memberikan parang yang gagangnya terbuat dari tulang wanita 14 tahun dan Kerajaan Sigi pun memberikan guma yang gagangnya terbuat dari tulang wanita 14 tahun. Bayangkan saja, persaudaraan itu harus mengorbankan manusia. Sampai-sampai di kerajaan Luwu ada ruangan khusus yang diperuntukan bagi tamu dari Kaili. Saya tidak tahu apa ruangan itu masih ada, tapi dulu saya tahu sekali itu ada.

Apa ada silang budaya (akulturasi)  yang tampak pada keduanya?
Akulturasi antara alat pertanian dan peristiwa ekonomi.

Bagaimana karakter Kerasnya orang kaili itu?
Jika berbuat kesalahan dengan orang Kaili, orang Kaili mudah memaafkan. Namun jika sampai pada puncaknya dia akan meledak, orang Kaili pasti akan marah. Ane boli, boli! Ane ala, ala!, artinya kalau kamu simpan, simpan saja, tapi kalau kamu ambil, ambil saja! Jadi kalau mau perang, ya kita perang, tapi kalau mau damai, damai!. Jadi kita tidak memulai.

Jika ada kekerasan yang melibatkan masyarakat Kaili dalam perpolitikan?
Kalau ada seperti itu, itu bukan lagi budaya Kaili namun itu adalah kepentingan politik. Makanya itu harus diubah dengan memahami lebih dalam tentang budaya kita sesungguhnya.

Bagaimana sikap kita dengan pemimpin?
Kita sangat menghargai pemimpin. Dulu dikisahkan, ada orang kaili yang mencuri sapi kemudian dikejar oleh masyarakat. Dia lari ke depan Istana raja.  Karena si pencuri lari ke depan rumah raja pertanda minta perlindungan. Ketika raja melihat itu, raja langsung membuang songkoknya di depan masyarakat dan akhirnya masyarakat berhenti mengejar. Itu tandanya raja meminta untuk tenang. Mereka sangat taat dengan raja, padahal hanya dengan memberikan isyarat seperti itu.
Ketika pecah konflik di Inpres, Paliudju (Gubernur Sulteng, HB Paliudju) datang ke atas gunung (ke salah satu komunitas Kaili yang berkonflik) meminta untuk berdamai. Dan mereka mendengarkan apa yang dikatakan oleh Paliudju. Itu tandanya orang Kaili sangat taat kepada pemimpin.

Nah itu orang Kaili, tentunya dia taat dengan orang Kaili, bagaimana dengan pemimpin yang bukan orang Kaili?
Orang Kaili terima siapa saja, hanya saja apakah dia (pemimpin) melihat kita sebelah mata. Dan saya kira siapapun dan dimanapun pemimpin tentunya tidak akan disukai jikalau memandang sebelah mata.
Di daerah ini juga pernah dipimpin bukan orang kaili. Kita pernah dipimpin orang Batak. Dan orang Kaili tidak mempersoalkan siapa memimpin mereka. Yang penting  bagi orang Kaili bagaimana caranya orang-orang  itu memimpin.

Apa hal yang paling peka menurut masyarakat Kaili, agar jangan pernah diusik?
Ya kehotmatan sebagai marga. Itu yang paling tidak disukai oleh orang Kaili.  Namun sayang, dengan masuk budaya-budaya luar banyak kebudayaan Kaili yang terlupakan. Itu harus dikembalikan!  Termasuk bahasa, adat istiadat yang sudah hilang. Tapi tidak semua adat istiadat mesti dikembalikan. Saya menulis buku tentang adat istiadat. Mungkin 2011 akan terbit.

Apakah dengan sikap keras itu kita (orang Kaili) mudah marah?
Itulah yang saya sesalkan. Sebenarnya ada perubahan karakter pada masyarakat Kaili. Sesungguhnya kita lebih ramah daripada mudah marah. Ini karena kita terlalu lama terkungkung dalam penjajahan. Padahal penjajahan di Sulteng ini hanya 40 tahun. Sebelum tahun 1904-an kita  berani menantang orang Belanda, namun dikarenakan politik adu domba orang Belanda dengan persenjataan kuat, Raja disini tunduk. 1904 beberapa raja tunduk dan menyepakati Kontrak Varklering dengan Belanda. Dari sekitar Abad ke-16 kita sudah dijajah tapi kita melawan. Nanti pas kontrak itu baru kita tunduk.
Istilah saya, ada dua sistim di negara ini yang merubah watak kita, yaitu sistim kelicikan Belanda dan sistim kesadisan Jepang. Jadi tauran dan konflik konflik sebenarnya diakibatkan oleh berpuluh-puluh tahun kita dijajah, sehingga watak kasar itu masuk pada orang Kaili, padahal itu bukan watak Asli orang Kaili. Karena terlalu lama dijajah watak kita sangat keras, kita tidak kembali pada budaya asli, yang sebenarnya kita sangat ramah. 

Beberapa aksen dan logat bahasa Kaili terdengar kasar, apa itu juga merupakan gambaran watak kita?
Itu tidak benar.  Aksen bahasa yang keras bukan watak orang Kaili. Sebab itu terlahir dari kondisi geografis yaitu dekat gunung ataupun dekat  pantai. Jadi bicaranya harus keras karena kondisi. Jadi sebenarnya tak ada hubungannya dengan watak orang Kaili. Kita sangat ramah

Untuk keramahan,  apa ada simbol-simbol filosofis pada budaya Kaili?
Itu kentara pada simbol-simbol rumah orang Kaili. Lihat saja rumah orang Kaili dulu, di atasnya di bagian tepi atap ada kayu yang diukir sedemikian indah. Itu menunjukkan orang Palu sangat mencintai keindahan, mereka menghormati rasa seni. Keharmonisan. Sedangkan ukiran tanduk yang paling di atas  itu merupakan simbol kebesaran. Namun simbol-simbol itu sekarang hampir punah.
Oh iya, ada yang menarik dari istananya orang Kaili, di depannya ada dua tangga untuk naik ke teras.  Jadi itu tangga adalah tangga bagi perempuan dan tangga bagi laki-laki. Posisinya sama, sejajar naik di atas istana. Itu tandanya bahwa Kaili ini sangat peduli jender. Jadi jauh sebelum ilmu emansipasi jender orang kaili sudah mengutamakan emansipasi.
Pahlawan orang kaili itu banyak juga yang perempuan, misalnya Tondei, Ranginggamagai. Itulah sebabnya dulu  disini juga yang memimpin perempuan, seperti, Ratu Nilinoa di Sigi, Ratu Marukaluli di kerajaan Likuwakena kemudian Ratu Sabina di kerajaan Banava.

Apa pesan bapak, kepada kita orang Kaili?
Pesan saya, kembalilah pada budaya asli milik kita sendiri! Perhatikan kebudayaan kita! Jaga eksistensi diri kita sebagai masyarakat kaili! Karena sesungguhnya kita tidak mau tercabik-cabik oleh budaya luar. Hormati kearifan lokal! Hargai pemimpin! Sebaliknya pemimpin juga mesti menghargai rakyatnya, apalagi orang-orang Kaili! ***

Asal Usul Etnik Kaili Melalui Tradisi Lisan

 


A. Asal  Usul  Nenek Moyang  Etnik  Kaili Melalui  Tradisi  Lisan (Motutura)

 

       Mengenai  asal  usul  penghuni  pertama  di  Sulawesi Tengah    berdasarkan  hasil  penelusuran    kajian deskriptif  data etnografi dari tradisi lisan (Motutura)  melalui cerita mitos yang berkembang  mengenai  asal  usul  penghuni  pertama  nenek moyang  To  Kaili    ada beberapa  versi cerita  berdasarkan kajian penelusuran  secara  lisan.  Berdasarkan  hasil  wawancara  yang dilakukan dengan  LP,  yang merupakan salah  satu tokoh adat di  Kabupaten  Sigi  menjelasakan dalam  uraian  ucapan  bahasa daerah  yaitu  bahasa  Kaili  dialek    Ledo  Sebagai  berikut  di ceritakan melalui deskripsi sebagai berikut:

 

Pontoro  totua  ngaulu  hamai  ri  kampu  sanggana      ngata  Tompu Bulili, dala ngatuvua manusia partama ri Tanah Kaili. Manusia  partama  ri  Tana  Kaili  partama-tamana  aga randua (2)  manusia    natuvu  ridunia,  totua  mombine  ante  totua langgai  natuvu,  neumba  dako  ri  kayanga,  ane  panguli ngauluna  Tomanuru  artina  manusia  neumba  dako  ri  langi. Katuvua  manusia partama  di dunia  Tanah  kaili  dako  ri  tesa potutura  to  tua  kami  ngaulu nanggulika kami,  niepu  kami ri tesa  potutura  ntotua  kami    bahwa  manusia  partama  ri Tana Kaili dako ri langi (kayanga) niproses dako ri Tanah Sanggamu  (Tanah  segengam),    ni  artikan  tope  bête    rivolo  nu  avu, manusia randua panggane niuli manusia Tomanuru (manusia kayangan) . Ane pangguli tutura dako nte totua kami sanganu Tomanuru  ane  langgai  niulu  Labuntasi  (nama  laki-laki penghuni  pertama)  ane  mombine  sanggana  njilembu  (nama perempuan penghuni pertama) tesa potutura To kaili (Lakapa, 2018).

 

Terjemahan.  Mengenai  cerita  mitos  secara  turun-temurun yang diwariskan melalui cerita lisan pada masyarakat Etnik  Kaili  yang  ada  di  Kabupaten  Sigi,  khususnya  dari  Desa Loru  menjelaskan  bahwa  asal  usul  penghuni  pertama penduduk di Sulawesi Tengah berasal dari daerah pegunungan yang disebut Desa Tompu Bulili yang terletak di kecamatan Sigi Biromaru.  Manusia  pertama  yang  mendiami  lembah  Tanah Kaili di  Sulawesi Tengah konon kabarnya dari  cerita orang tua pada  zaman  lampau  menuturkan  bahwa   manusia pertama di Tanah Kaili adalah  manusia  yang  diutus  dari Langit  atau  yang biasa  dikenal  pada  masyarakat  di  Kabupaten  Sigi  disebut Tomanuru  yang    berasal  dari  Tanah  Sanggamu  (Tanah segengam)    yang  disebut  manusia  yang  berasal  dari  bambu kuning  atau  Topebete  ribolo  nuvatu.  Manusia  yang berasal  dari kayangan  tersebut  adalah  sepasang  suami  istri  yang  hidup mendiami  Tanah  Kaili  di  Kabupaten Sigi,  menurut  keterangan dari  tradisi  lisan  yang  diwariskan  dari  cerita-cerita  yang dikatatan Motutura bahwa  labuntasi adalah nama laki-laki dan Njilembuh  adalah  nama  perempuan,  yang  merupakan penghuni  pertama  dari  manusia  pertama  di    kabupaten  Sigi propinsi Sulawesi Tengah.  Cerita  lisan pada masyarakat yanga ada di Desa  Loru dan Pombewe yang terletak di  Kecamatan sigi Biromaru, Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah.

 

          Nuansa  mitos  melalui  cerita  tradisi  lisan  (Motutura) tentang  asal  usul  nenek  moyang  To  Kaili    yang  ada  di kabupaten  Sigi  Propinsi Sulawesi  Tengah,  berdasarkan  uraian pemaparan  informan  bahwa  manusia  pertama  mendiami wilayah-wilayah yang ada di pegunungan karena pada zaman lampau  wilayah  yang  ada  di  Sulawesi  Tengah  merupakan hamparan  lautan  atau  disebut  daerah  lembah  Palu.  Tradisi lisan budaya tutur (Motutura) pada masyarakat Etnik Kaili yang ada  di  Kabupaten  Sigi  sangat  meyakini  bahwa  mitos-mitos yang berkaitan dengan asal usul nenek moyang To Kaili berasal dari  daerah  pegunungan    yang  mendiami  lereng-lereng gunung di  Desa yang namanya  disebut Ngata Tompu dan Ngata Raranggonau,  sebuah  Desa  tertua  pada  zama  lampau  yang diyakini  sebagai  cikal-  bakal  kehidupan  masyarakat  Etnik  To Kaili.  Tradisi  Lisan  pada  masyarakat  To  Kaili sangat  meyakini sebuah  mitos bahwa  asal usul  nenek  moyang  mereka  berasal dari  keturunan  yang  berasal  dari  langit  (Tomanuru)  yang memiliki  nilai-nilai  kesaktian  dan  sakral  dalam  hal-hal  yang berkaitan dengan nuansa mitos terhadap asal usul masyarakat Etnik Kaili.

 

          Kajian  riset  Misnah  (2009)  dalam  tesisnyanya mendeskripsikan  bahwa  cerita  mengenai  asal  usul  nenek moyang  Etnik  Kaili  sangat  kental  dengan  nuansa  tradisi  lisan yang  sangat  identik  dengan  mitos-mitos  yang  berkembang pada  masyarakat  Etnik  Kaili.  Nenek  moyang  To  Kaili merupakan  jelmaan  pemimpin  yang  memiliki  kekuatan-kekuatan  supranatural,  kekuatan-kekuatan  yang  luar  biasa, yang  dinobatkan  sebagai    manusia  pertama  yang  mendiami wilayah Kupaten Sigi  Sulawesi Tengah. Masyarakat Etnik Kaili meyakini  melalui  tradisi  lisan  yang  diucapkan  secara  turun-temurun  bahwa   Tomanuru  merupakan  manusia  dako  ri  langi, Tobarakah (  Tomanuru  merupakan  manusian  jelmaan  dari kayangan) yang disimbolkan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan  yang  mendiami  lereng  pegunungan-pegunungan yang ada di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah(Misnah, 2009).

 

          Kajian mengenai asal usul penghuni pertama masyarakat yang  ada  di  Sulawesi Tengah juga  di  paparkan  dalam sebuah tulisan (Syamsuri, 2015) .Suku Kaili merupakan  penduduk asli kota  Palu  yang  secara  turun-temurun  mendiami  wilayah  Propinsi    Sulawesi  Tengah,    pada  zaman  sebelum  datangnya penjajahan      Belanda,  Raja  yang  mendiami    masing-masing kekuasaan  yaitu  Banawa,  Palu,  Tavaili, Parigi,  Sigi  dan  Kulavi memiliki  hubungan  kekeluargaan  dengan  tujuan  untuk  menghindari pertempuran dan Pertikaian antar keluarga.

 

          Kehidupan  masyarakat  Etnik  Kaili  pada  zaman  lampau mendiami daerah pegunungan, hal ini  disebabkan karena pada zaman  lampau  kehidupan  yang  ada di  daratan masih  sebuah hamparan  lautan  yang  sangat  luas  yang  diarunggi  oleh  para pelaut-pelaut  ulung.  Salah  satu  pelaut  ulung  yang  sangat dikenal  oleh  masyarakat  Etnik  To  Kaili  adalah  pelaut  yang benama Sawerigading. Tokoh  legendaris Sawerigading melalui budaya tradisi tutur lisan pada masyarakat di Sulawesi Tengah merupakan  pelaut  handal  yang  mengarunggi  wilaya  lautan Sulawesi  yang  dalam  cerita  kisah  sang  legenda  memiliki nuansa  mitos,  legenda  yang  mengambarkan  bagaimana kehidupan  pada  zaman  lampau  masyarakat  Etnik  Kaili  telah menjalin  hubungan  kekerabatan,  kekeluargaan  terhadap  para tamu  atau  pelaut  yang  singah  di  wilayah  Sulawesi  Tengah pada zaman lampau. Wilayah Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah melalui informasi lisan menjelaskan bahwa masyarakat To Kaili pada  zaman  lampau  mendiami  wilayah-wilayah  pegunungan karena  di  daerah  dataran  merupakan  kehidupan  yang diarunggi oleh pedagang, pelaut  yang  menjalin hubungan  dan kerja  sama  dengan  para  Raja-Raja  yang  mendiami  wilayah Sulawesi Tengah. untuk mengambarkan bagaimana kehidupan manusia  atau  masyarakat  Etnik  To  Kaili  pada  zaman  lampau bisa  kita  saksikan  pada  gambar  bentuk    lautan  yang  ada  di Lembah Sulawesi Tengah pada zaman lampau.

 

Gambaran  kehidupan  masyarakat  Etnik  To  Kaili  pada zama  lampau  juga  diuarikan  oleh  Pernyataan  TL,  yang merupakan    salah  satu  tokoh  adat  yang  ada  di  Desa  Sidera bahwa:

 

Suku Kaili suku paling nadea ri  Tanah Kaili,  tesa  nituturata eo  hitu  merupakan  tesa  mpotutura  asal  usul  topo  nturo  ri Lemba  nu  palu  sekarang.  Tesa  notua  kami  ngaulu  nibolika kami,.  Totua  ngaulu  ri  Tanah  Kaili  nonturo pura  ri  buluna apa ngaulu isi nu ngata hi  tasi bayangi, naria  katuvua ntotua ngaulu tapi natuvu  ri buluna. Tesa ngaulu kututura  kakomiu bahwa  palu  ngatata  tasi bayangi  niuli Tasi  Kaili    ri  Lembah nu Palu. Asal usul kata Kaili dako ri kayu  Kaili, sipa nu kayu kaili ane natuvu  pada  zaman ngaulu uve danaoge, tanah-tana dana  subur  bayangi,  kayu  Kaili    sipa  nu  kayu natuvu  kayu paling nalangga, dako  ri kayu-kayu natuvu si sinjorina. Kayu  Kaili  natuvu    nalangga,  danea  sepi-sepi  nu  kayu  nombaliu kayu  ntanina  (  kayu yang paling tinggi  pohonya). Nuapa manfaat  kayu Kaili  pada  zaman  ngaulu?  Ngaulu  katuvua  ri ambena hamai Tasi vuri bayangi, katuvua naria  agari buluna, kayu  kaili  najadi  tanda   bagi  tona berlayar  dako ri  tasi buri  , ane  tona  morantau  manggita  kayu  nalangga,  na  tuvu,  itu tandana  katuvua  naria  ri  sekitar  nu  kayu,  yaitu  kayu  Kaili (Tagwir labuntina, 2017)

 

Terjemahan.  Suku  Kaili  yang  mendiami  wilayah Kabupaten  Donggala    Sulawesi  Tengah  yang  saat  ini  telah menjadi  Kabupaten  Sigi,  berdasarkan  tradisi  melalui  cerita  yang diwariskan secara turun temurun, memberikan penjelasan bahwa  penguni  pertama  masyarakat  yang  ada  di  wilayah Sulawesi  Tengah    bahwa  masyarakat  To  Kaili    mendiami  daerah-daerah  pegunungan,  disebabkan  pada  zaman  lampau kehidupan  yang  ada  di  dataran  adalah  lembah  lautan.  Kehidupan  ini  dimanfaatkan  para pelayar-pelayar  ulung  yang mengarungi pelayaran di zaman lampau dikenal dengan istilah Tasi  vuri    (laut hitam).  Pada  zaman lampau ketika  melakukan pelayaran  yang  menjadi  tanda  atau  sebagai  symbol  adanya sebuah kehidupan di daerah pegunungan adalah sebuah pohon yang  disebut  pohon  Kaili.  Sebuah  pohon  yang  menjulang tinggi,  memiliki  serpihan-serpihan  dahan  dan  ranting  yang sangat banyak, pada zaman lampau pohon ini sebagai  symbol adanya  kehidupan  apabilah  akan  menemukan  sebuah  pohon yang menjulang tinggi yang disebut Pohon Kaili.

 

          Kehidupan  masyarakat  yang  ada  di  Kabupaten  Sigi Sulawesi  Tengah  pada  zaman  lampau  merupakan  kisah mengenai  bagaimana  kehidupan  masyarakat  menjalin  kerja sama,  hubungan  sosial  dan  kekerabatan  telah  tejalin  dengan orang–orang  luar  yang  datang  mengujungi  wilayah  Sulawesi Tengah.  Cerita  lisan  pada  masyarakat  Etnik  Kaili  juga mengambarkan  sebuah  cerita  mengenai  sebuah  pohon  yang sangat  di  kenal  oleh  masyarakat  Etnik  Kaili  pada  zaman Lampau ketika para  pelaut melakukan pelayaran yang dikenal  dengan sebutan pohon Kaili. Menurut Sanati bahwa pohon Kaili sebagai  ciri  khas  penanda  sebuah  kehidupan  pada  masa lampau, dan konon kabarnya  bahwa sebutan bagi Etnik Kaili di simbolkan  dari  sebuah  pohon  Kaili  yang  menjulang  tinggi, sehingga  pohon  Kaili  banyak  sekali  ditemukan  di  daerah-daerah  pegunungan  yanga  da  di  Desa  Loru,  Pombewe,  Desa Bangga  yang  ada  di wilayah  Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Pada zaman lampau kayu ini sangat memberikan manfaat bagi para  pengembara  yang  melintasi  lautan  di  Sulawesi  Tengah, sebagai  pertanda  simbol    bagi  perantau,  ketika  akan  melihat pohon  menjulang  tinggi  (  kayu  Kaili)  sebagai  penunjuk  arah bahwa ada tanda kehidupan yaitu di daerah pegunungan.

 

Masyarakat Etnik Kaili yang identik dengan sebutan  To Kaili  merupakan Etnik  yang  memiliki  nilai-nilai  budaya  tutur  lisan  yang perlu  diwariskan  dari  generasi-kegenerasi,  melalui karya  dalam  wujud  dokumen    tulisan,  dengan  demikian   budaya ini tercatat,  terdokumentasikan sebagai  budaya daerah yang  memilki  kekhasan  sebagai  budaya  lokal  yang  akan memperkaya  nilai-nilai  budaya  Nasional.  Pentingnya

 

 

 

melakukan  inventarisasi  terhadap  budaya  lokal  di  Sulawesi Tengah  merupakan  sebuah  upaya  yang  dilakukan  untuk melakukan  promosi  terhadap  kebudayaan  daerah    yaitu mengenai  asal usul  penghuni pertama  masyarakat  Etnik  Kaili  yang  ada  di  Kabupaten  Sigi  Propinsi  Sulawesi  Tengah. (Misnah, 2017)

 

          Hasil  kajian  ini  memberikan  sebuah  gambaran  bahwa pada  masa  lampau  berdasarkan  tradisi  lisan  (Motutura)  pada masyarakat Etnik  Kaili bahwa penghuni pertama atau asal usul nenek moyang Etnik Kaili di Kabupaten Sigi  Propinsi Sulawesi Tengah  sangat  syarat  dengan  nuansa-nuansa  mitos.  Hasil penelusuran  secara  etnografi    menemukan  data  bahwa  asal usul To Kaili pada zaman lampau  mendiami wilayah/ daerah-daerah      pegunungan  karena  pada  zaman  lampau  wilayah Sulawesi Tengah  merupakan  hamparan laut  yang sangat luas.  Berdasarkan tradisi lisan  yang diyakini oleh  masyarakat yang ada  di  Kabupaten  Sigi  nenek  moyang  To  Kaili  merupakan penjelmaan  Dewa  dari  langit  (Tomanuru)  yang  memiliki kemampuan sakti, yang   berasal  dari Tope bête ri bolo  nu Vatu ( orang  yang  berasal  dari  bambu  kuning).    Pernyataan  ini  di dukung oleh  Kajian Fauziah (2017) dalam goresan  singkatnya menguraikan bahwa asal usul nenek moyang orang suku  Kaili    merupakan  keturunan  yang  berasal    dari  langit  atau  dari kayangan, yang   merupakan  jelmaan  Dewa,  dan  suku  Kaili  ini merupakan  suku  yang  paling  mendominasi    di  Sulawesi Tengah (Fauziah, 2017).

 

         Pentingnya melakukan  dokumentasi  terhadap  informasi lisan  (Motutura)  secara turu-temurun  yang  merupakan  sebuah bentuk naskah kuno yang tersimpan dalam memory para tokoh sejarah,  tokoh  adat,  atau  para  informan-informan  yang mengetahui  sejarah  asal  usul  nenek  moyang  To  Kaili  di Kabupaten  Sigi  Propinsi  Sulawesi  Tengah.  Sumber  informasi yang  disampaikan  melalui  budaya  tutur  dari  mulut-kemulut merupakan  informasi-informasi  yang  sangat  penting  dan berharga  untuk  dilakukan  inventarisasi,.  Pendokumentasian dalam bentuk sebuah  karya  tulis  yang  memberikan informasi-informasi,  mengenai  bagaimana  kehidupan  masyarakat  pada masa  lampau  dan  hal  ini  menjadi  sumber  informasi  bagi generasi  saat  ini.  Dengan  demikian  untuk    menjadikan  ini sebagai  sebuah  budaya,  pentingnya  penelusuran  data  melalui tutur lisan yang  sangat  penting  untuk  diketahui para generasi muda sebagai pewaris budaya.

 

          Masyarakat  Etnik  Kaili  memiliki  nilai-nilai  value  pada budaya  lokal  tradisi  Motutura  (cerita  lisan)  secara  turun- temurun  merupakan  sebuah  budaya  yang  harus  diwariskan kepada  generasi  mudah  saat  ini,  oleh  karena  itu  cerita  lisan pada  zaman  lampau  mengenai  kehidupan  nenek  moyang  To Kaili yang  mendiami lembah-lembah pada daerah  pegunungan di  wilayah  Kabupaten  Sigi  pada  zaman  lampau  memberikan gambaran pemotretan budaya pada zaman lampau, bagaimana masyarakat  mempertahankan  hidup  dan  menjalin  kerjasama, dan  mempertahankan  nilai-nilai  budaya,  tradisi  yang merupakan  sebuah  warisan  budaya  leluhur  yang  penting untuk di transfer kepada generasi saat ini.

 

          Informasi  tradisi  lisan  Motutura yang  disampaikan oleh para  informan  memberikan  penjelasan  bahwa  pada  zama lampau di Kapupaten Sigi  Propinsi Sulawesi Tengah, memili 2 (dua) kampung yang sangat tua yaitu Dusun Tompu dan Dusun Ranggonau yang merupakan pijakan dan cikal bakal kehidupan masayarakat  pada  zaman  lampau  yang  memiliki  nilai-nilai historis.  Berdasarkan  informasi  melalui    cerita  lisan menjelaskan bahwa pada zaman lampau masyarakat Etnik Kaili  dari versi asal-usul nenek moyang mendeskripsikan kehidupan nenek  moyang  To  Kaili  mendiami  wilayah    di  daerah pegunungan  karena  wilayah  dataran  pada  zaman  lampau merupakan sebuah hamparan lautan yang sangat luas   disebut dengan  istilah  Tasi  Vuri  (lautan  yang  luas/  laut  hitam  jika dipandang  sejauh  mata  memandang)  .Sumber-sumber informasi  mengenai  asal  usul  nenek  moyang  To  Kaili  melalui penelusuran  tradisi  lisan  (Motutura)  yang  dilakukan  di Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah, merupakan rekaman informasi  yang  sangat penting  untuk diuraikan  dalam  sebuah karya dalam wujud pendokumentasian secara tertulis.

 

          Budaya  tutur  secara  lisan  memiliki  nilai-nilai  yang penting  dan  bermanfaat  bagi  generasi  sekarang  yang merupakan  pewaris  budaya  pada  masa  lampau  yang memahami,  mengetahui,    asal  usul  secara  historis  mengenai budauya  lokal (daerah).  Upaya untuk  melakukan  penggalian, penelusuran,  identifikasi,  dan  menyebarluaskan  informasi mengenai  asal  usul  nenek  moyang  To  Kaili  dari  tradisi  lisan (Motutura),    merupakan  suatu  upaya  untuk  mempromosikan budaya  daerah  yang akan  menambah  kekayaan,  aset  budaya yang  akan  menjadi  kebanggaan  dari  generasi  ke  generasi sebagai  bingkai  kehidupan  masyarakat  pada  zaman  lampau yang  akan  digunakan  sebagai  pijakan    bagi  pengembangan sikap, tindakan manusia di  masa mendatang.

 

          Tradisi  lisan  yang  berkembang  di  Kabupaten  Sigi menjelaskan  bahwa  kehidupan  nenek  moyang  To  Kaili mendiami  daerah  pegununggan yaitu Ranoromba,  Raranggonau dan  Tompu,  yang  diuraikan  dari  kajian    penelusuran  tradisi lisan.  Asal  usul  penghuni  pertama  nenek  moyang  To  Kaili diuraikan  dalam  beberapa  informasi  para  informan menjelaskan  bahwa  asal  usul  To  Kaili  merupakan  sebuah penjelmaan  dari  kayangan  yang  disebut  dengan  Tomanuru (manusia  dari  kayangan),  yang  dianggap  memiliki  kekuatan supranatural,  kekuatan  sakti  yang  merupakan  penjelmaan Dewa.  Uraian-uraian mengenai asal usul To Kaili di Kabupaten Sigi  pada  masa  lampau  tidak  bisah  dipisahkan  dengan kepercayaan masyarakat Etnik  Kaili mengenai asal usul sebuah pohon  yang  disebut  kayu  Kaili  (pohon  Kaili).  Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di  Kabupaten  Sigi  menguraikan   bahwa  Etnik  Kaili  disimbolkan  dari  sebuah  pohon  yang dinamakan  pohon  Kaili,  untuk  memberikan  gambaran  yang jelas  bagaimana  wujud  pohon  Kaili  akan  diuraikan  dalam gambar sebagai berikut : Twiter Muhidin, 2019.

 

          Uraian  yang  tidak kalah  menariknya  dalam  pemaparan tradisi  lisan  para    informan  yang  ada  di  atas  menjelaskan tentang asal usul kayu Kaili dengan kehidupan nenek moyang pada  zaman  lampau  merupakan  rangkaian  kisah  secasa  lisan dan  mengandung  nilai-nilai  mitos  yang tidak  bisa dipisahkan ketika  menguraikan bagaimana  proses kehidupan  masyarakat pada  zaman lampau,   dan  kaitanya  dengan  pohon  Kaili  yang disimbolkan sebagai  To  Kaili  (orang  Kaili).  Akan  tetapi  kondisi saat  ini  mengenai  pohon  Kaili  sangat  memprihatinkan  dan pohon  tersebut  terancam  mengalami  kepunahan.    Menurut Informan  Eko  cerita  Motutura  mengenai asal  usul Pohon  Kaili yang saat ini sudah sangat sulit kita temukan bahkan terancam akan  mengalami  kepunahan  akibat  maraknya  penebangan pohon secara liar  akibat ulah manusia yang  tidak  bertanggung jawab.    Pernyataan  ini  di  dukung  oleh    Sanati    menjelaskan dalam uraianya mengenai pohon Kaili sebagai berikut:

 

Kayu  Kaili  simbol  kita  to  kaili  sifata  to  kaili  eva  kayu  kaili, natuvu  nambaso,  asal  mu asal  kita  to  kaili dako ri  kayu  kaili kita to  kaili 30 suku  kaili ri Sulawesi Tengah, salah satuna To kaili dako ri asal muasal  kayu  kaili.  Kayu  kaili  kayu nambaso natuvu  hamai  ri  panggale,  sanggata  to  kaili  asal  muasalna dako ri kayu Kaili. Apa kayu kaili natuvu nambaso, mbadekeika Manda katuvua  pada  zaman ngaulu ane maria  todea  makava manggita katuvua ri bulu Ranggonau , ante Tompu ngata Tua ri  kabupaten  sigi.  Tapi  ngapuri  kayu-kayu  kaili santagamatemo  nikava,  nadea  topo  vuri,  topo  tovo  kayu, namatemo, malipomo ciri nu khas kita to  kaili dako ri  asal mu asal kayu Kaili (Sanati, 2017)

 

Terjemahan.  Kayu  Kaili merupakan  sebuah  symbol  bagi masyarakat  Etnik  Kaili  yang  ada  di  Sulawesi  Tengah  yang terdiri  dari  30    rumpun  dialek  Kaili.  Asal  mula  suku  Kaili berawal dari  sebuah  pohon  yang  dinakamakan kayu Kaili dan memiliki  badan  pohon  yang  sangat  besar,  memiliki  ranting-ranting  yang  banyak,  dan  menanunggi  pohon-Pohon  lainya. Simbol pohon Kaili sebagai tanda kehidupan  masyarakat  pada zaman  lampau  yang  mendiami  wilayah  pegunungan  pada zaman  lampau  yaitu  sebuah  kampung  yang  dianamakan  kampu  Ranggonau dan  Tompu  yang  terletak  di  Kabupaten  Sigi Provinsi  Sulawesi  Tengah.  Menjadi   keprihatinan saat ini  kayu Kaili  mulai  mengalami ancaman  kepunahan  karena  maraknya penebangan  pohon  secara  liar  yang  dilakukan  oleh  oknum tidak  bertanggung  jawab,  dan  adanya  penebangan  pohon untuk kebutuhan masyarakat digunakan sebagai kayu bakar.

 

          Berdasarkan  uraian  yang  ada  di  atas  dipaparkan  oleh para  informan/narasumber  mengenai  asal  usul  To  Kaili  dari tradisi lisan (Motutura) bahwa asal mula penyebutan bagi orang Kaili atau To Kaili ada versi secara lisan mengungkapkan bahwa  penyebutan  To  Kaili  berasal  dari  sebuah  pohon  yang dinamakan  pohon  Kaili.  Karakteristik  pohon tersebut  memilki badan pohon yang sangat besar, menjulang tinggi, memberikan manfaat  bagi  tanaman,  dan  pohon-pohon  yang  tumbuh  di sekitarnya.  (Lihat  gambar  1.2).  Deskripsi  karakter  pohon tersebut  diibaratkan  sebagai  karakter  To  Kaili  (orang  Kaili) dalam  kehidupan  sosial  bermasyarakat,  yaitu  memiliki  sikap mengayomi,  menjalin  hubungan  kerja  sama  secara  harmonis, hidup  aman  dan  berdampingan  dengan  para  pedagang    atau para pelayar-pelayar yang datang berkunjung ke Tanah Kaili.

 

         Pada  uraian  tradisi  lisan  (Motutura)  mendeskripsikan mengenai  hubungan  antara  penduduk asli  yaitu  To  Kaili yang hidup  dan  mendiami  lereng-lereng  pegunungan  di  wilayah Kabupaten  Sigi  Propinsi  Sulawesi  Tengah,  To  Kaili  telah menjalin  hubungan  yang  baik,  dan  memiliki  hubungan  yang erat,  harmonis  dengan  para  pendatang  yang  berkunjung  ke tanah  Kaili.  Salah  satu  hubungan  sosial  masyarakat  Etnik dengan  masyarakat  pendatang  pada zaman  lampau bisa  Kaili kita  lihat  dari  hubungan  baik,  antara  Ratu  yang  memimpin kerajaan Sigi dan   pelayar  ulung yang  bernama  Sawerigading.  Para pelayar, perantau pasa zaman lampau  mengarungi lautan di  Tanah  Kaili  menjadikan  pohon  Kaili  sebagai  simbol  ketika berlayar  sebagai  pijakan  bahwa  akan  ada  sebuah  peradaban, kehidupan ketika akan melihat pohon Kaili menjulang tinggi di daerah  pegunungan.  Pohon  Kaili    sebagai  simbol  kehidupan pada  zaman  lampau  akan  menjadi  sebuah  kisah,  cerita,  yang memiliki  nilai  khas  sebuah  budaya  lokal  yang  ada  di  daerah Kabupaten  Sigi  Propinsi  Sulawesi  Tengah.  Nilai-nilai  manfaat pada  tradisi  lisan  tersebut  akan  menjadi  kebanggaan,  bagi masyarakat  Etnik  Kaili  yang  memiliki  nilai-nilai  sejarah  yang perlu diceritakan, dikisahkan dan ini merupakan sebuah wujud  pewarisan  budaya  yang  dilanjutkan  pada  karya mempromosikan budaya tersebut  dalam bentuk tulisan. 

 

          Kondisi  Saat  ini  mengenai  sebuah  pohon  yang dinamakan  pohon  Kaili  sudah  jarang  kita  temukan,  bahkan akan  terancam  mengalami  kepunahan  dengan  adanya tindakan-tindakan  manusia  yang  tidak  bertanggung  jawab yang  melakukan  penebangan  pohon  secara  liar,  melakukan eksploitasi sumber daya alam, yang akan memberikan  dampak negativ bagi generasi berikutnya. Pernyataan ini juga diuraikan oleh  Kacandipa   salah  salah  satu tokoh adat yang ada di  Desa Loru  yang  menguraikan  tentang  keprihatinanya    terhadap pohon Kaili yang  merupakan  icon  yang memiliki  nilai sejarah, menjadi kebanggaan orang Kaili (To  Kaili) terancam mengalami kepunahan.

 

Nadeamo  kayu-kayu  mbaso,  kayu  kaili  namate,  apa  ni  pake ntodea majadi kayu nu banua, kayu raporiapu, kayu ra pobalu, tindakanu manusia ledo  nompekirika  katuvua  ntodea, ambena natuvu  dako  ri kayu-kayu  mbaso  eva kayu  Kaili.   Kayu  kaili ane  raelo  hau  ri  uluna  nasusamo  rakavata,  nadeamo  kayu nitovo, pade ledo nitudaki mpanji. Ane kita mantora vai karaja nu  manusia  mbarugi to  dea,  kayu  nitovo najadimo  kita  niuli banjir  bandang.  Uve  nakuramo,  Mata  nu  uve  nakodimo, mandasamo todea matuvu.

 

Terjemahan.   Banyak kayu-kayu yang  ada di hutan yang  sangat luas di daerah pegunungan di wilayah Kabupaten Sigi,  sudah  sangat  langkah  dan  susah  ditemukan  saat  ini,  hal  ini disebabkan oleh maraknya  penebangan pohon, ekspoitasi hasil hutan yang digunakan untuk keperluan individual yaitu  dijual untuk  kebutuhan  ekonomi  dan    di  gunakan  sebagai  bahan bakar  ketika  memasak,    kayu-kayu  ditebang  dan  tidak dilakukan  penananman  kembali,  sehingga    salah  satu  kayu sebagai  kebanggaan  kita  Etnik  Kaili  yaitu  kayu  Kaili  sudah sangat sulit bahkan terancam punah (Kacandipa, 2018).

 

          Berdasarkan data hasil wawancara,  penelusuran data di lapangan, dan di dukung data observasi  menemukan beberapa data-data  yang  memberikan  dampak  negatif  yaitu  maraknya penebangan  pohon  yang  dilakukan  oleh  manusia  untuk melakukan  pemenuhan  kebutuhan  ekonomi,  kebutuhan pribadi dengan cara melakukan  ekspoitasi  terhadap hasil alam yaitu pembalakan  liar,  penembangan  pohon-pohon yang  akan merugikan  bagi kesinambungan  hidup  pada  masa  yang  akan datang.  Maraknya  penebangan  pohon  yang  dilakukan  oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab berdampak pada lingkungan yang ada di Kabupaten Sigi  Sulawesi Tengah yaitu terjadinya tanah longsor dan banjir bandang menerpah wilayah tersebut.

 

          Penebangan  pohon-pohon  yang  dilakukan  oleh  oknum yang tidak bertanggung jawab  antara lain  adalah  pohon  Kaili,  merupakan  sebuah  pohon  yang  memiliki  nilai-nilai  sejarah peradaban  pada  zaman  lampau  sebelum  masuknya  penjajah Belanada  di  Indonesia.  Pohon  Kaili  merupakan  sebuah gambaran  bagaiamana  kehidupan  manusia  pada  zaman lampau  dan  dijadikan  sebagai  sebuah simbol   adanya  sebuah peraban,  tanda  kehidupan,    pada  zaman  lampau.  Peradaban masyarakat  Etnik  Kaili  secara  historis  memberikan  gambaran bagaiman  masyarakat  Etnik  Kaili  hidup  secara  aman, berdampingan,  dan bisa menjalin kerja sama yang baik dengan fihak-fihak pendatang yang berkunjung  ke wilayah Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah pada zaman lampau.

 

         Nilai-nilai  historis  yang  ada dalam cerita lisan  Motutura mengenai  pohon  Kaili,  merupakan  sebuah  kisah  cerita  yang sangat menarik untuk di  wariskan  kepada  generasi  berikutnya yang  akan  menjadi  sebuah  kebanggaan  bahwa  dalam  tradisi lisan Motutura masyarakat Etnik Kaili memiliki nilai-nilai yang sanagat  penting  untuk  dijaga,  dipelihara  dan  dilestarikan. Pohon  Kaili  merupakan  simbol  kehidupan  masyarakat  Etnik Kaili  pada  zaman  lampau  yang  saat  ini  harus  tetap  dijaga kelestarianya  walaupun  pada  kondisi  saat  ini  pohon  Kaili menjadi lagkah dan sulit kita temukan. Pelestarian kayu/pohon Kaili , merupakan wujud kepedulian yang sangat memiliki nilai manfaat bagi mahluk hidup yang ada di muka buni ini.

 

          Pohon  Kaili  merupakan  simbol  kehidupan  pada  zaman lampau  yang  memiliki  nilai-nilai  historis  yang  merupakan sumber informasi dari  tradisi lisan  yang ada di Kabupaten Sigi Propinsi  Sulawesi  Tengah.  Menurut  tradisi  lisan  masyarakat Etnik  Kaili  (To  Kaili)  yang  merupakan  suku  terbanyak  mendiami  wilayah  Sulawesi  Tengah  bahwa  pada  zaman lampau  pohon  Kaili  digunakan    sebagai  sebuah  simbol    bagi para  pelaut-pelaut  ulung  ketika  akan  mengunjunggi  suatu daerah. Dengan demikian  pohon  Kaili merupakan simbol atau ciri  khas  di  daerah  pegunungan  yang  memberikan  pertanda bahwa  ada  kehidupan, peradaban  yang  berkembang  disekitar pohon  tersebut.    Menurut  uraian  herawati    (2015,    hlm  163) bahwa:

 

Penamaan  Etnik  Kaili  pada  zaman  lampau  laut membujur  ke  Selatan  dari  Tanjung  Karang  sampai  Bangga,  Pakuli  dan  Sombe  merupakan  pelabuhan-pelabuhan  ternama  yang  dilalui  oleh  masyarakat  Etnik Kaili  dengan  menggunakan  sarana  transportasi  perahu yang  menghubungkan  kampung  yang  satu  dengan kampung   yang  lainya,   ketika mengarunggi  pelayaran ada  sebuah  pohon  yang  menjulang  tinggi  terletak    di Pakuli,  yang  dinamakan    Ntiro  Tasi,  pohon  ini  yang menjadi  pedoman  bagi  masyarakat  yang  melakukan pelayaran  kemana  mana,  inilah  symbol    kayu  yang diyakini  sebagian  masyarakat  Etnik  Kaili  sebagai  cikal bakal atau asal usul disebut Kaili atau To Kaili.(Herawati, 2017)

 

          Masyarakat Etnik Kaili yang mendiami wilayah yang ada di  Kabupaten  Sigi  Propinsi  Sulawesi  Tengah  merupakan masyarakat  yang  memiliki  nilai-nilai  peradaban  yang  tinggi pada zaman lampau, tergambar pada hubungan yang harmonis antara para pelaut ulung yang datang berkunjung dengan raja yang  mendiami  wilayah  yang  ada  di  Kabupate  Sigi  pada zaman  lampau.  Dalam  kehidupan  yang  di  lakoni  masyarakat To  Kaili  pada  zaman  lampau  sangat  menjaga  hubungan kekeluargaan,  harmonisasi  dan  menghargai  orang  lain. Masyarakat To Kaili dari cerita tradisi lisan pada zaman lampau selalu  menghubungkan  anatara  penyebutan  istiah  To  Kaili dengan  sebutan  pohon  Kaili  yang  disebutkan  sebagai  cikal bakal  penyebutan  bagi  masyarakat  Etnik  Kaili  yang  ada  di Kabupaten  Sigi  saat  ini.  Uraian  mengenai  pohon  Kaili merupakan  sebuah  uraian  yang  menarik  jika  kita menghubungkan  mengenai  asal  usul  To  Kaili,  tetapi  kondisi saat  ini  sangat  memprihatinkan banyak  generasi  mudah tidak mengenal  lagi  bagaimana  bentuk,  wujud  dari  pohon  Kaili tersebut.  Apalagi  dengan  perkembangan arus globalisasi  yang terjadi  saat  ini  pohon-pohon  yang  memiliki  nilai-nilai  sejarah bagi  peradaban  masyarakat  Etnik  To  Kaili  sangat  sulit  kita temukan, hal ini disebabkan oleh maraknya penebangan pohon secara  liar, yang  dilakukan oleh  masyarakat  yang  disebabkan oleh  kebutuhan-kebutuhan  ekonomi  sehingga  melakukan eksploitasi terhadap sumber hutan yang ada dan salah satunya adalah  penebangan  pohon  Kaili  yang  menjadi  salah  satu  ciri khas masyarakat To Kaili.

۞ PETA LOKASI MA. Kabeloa Alkhairaat ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞